Komando militer di Tarakan dinilai 'tak efektif bendung ISIS' di Marawi

redpassion_large

Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), sudah meresmikan Pusat Komando Militer di Tarakan, Kalimantan Utara, Senin (19/06).

Peresmian itu dilakukan bersamaan dengan diiringi patroli maritim bersama tiga negara -Indonesia, Malaysia dan Filipina- yang 'akan dilakukan setiap saat' hingga dicapai kesepakatan untuk mengakhirinya kelak.

"Karena perkembangan terorisme di Marawi jadi ada kekhawatiran di kawasan, di negara-negara kawasan ASEAN, terutama Malaysia dan Indonesia yang langsung berbatasan dengan Filipina," ungkap Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Wuryanto, kepada BBC Indonesia.

Mayjen Wuryanto menambahkan pusat komando dan patroli bersama itu bermula dari upaya ketiga negara untuk menanggulangi kerapnya perompakan kapal dan penyanderaan anak buah kapal di perairan Laut Sulu, Filipina Selatan, oleh kelompok Abu Sayyaf.

"Tapi karena baru dilaksanakan sekarang, pasti (juga digunakan) untuk mencegah pelarian terorisme dari Marawi (ke Indonesia)," kata Wuryanto.

Lokasi 'terlalu jauh'
Namun, seorang mantan anggota Front Pembebasan Islam Moro (MILF) Filipina, Ali Fauzi, menilai pembangunan Pusat Komando Militer di Tarakan kurang efektif karena 'manfaatnya tidak seberapa'.

"Laluannya bukan Kalimantan Utara, karena terlalu jauh. Yang paling dekat itu lewat Pulau Sangir, Sulawesi Utara, atau Morotai di Ternate. Itu bisa langsung ke Provinsi Sarangani di Mindanao (dekat Marawi). Bisa saja (Tarakan) sebagai alternatif, tetapi bukan jalan utama," tutur Ali kepada.

Baca juga: Kemenlu Lakukan Konfirmasi Terkait Perpanjangan Visa Rizieq Shihab

Dia menduga pemerintah Indonesia membangun pusat komando dan memulai patroli di Tarakan lebih dikarenakan 'situasinya lebih nyaman untuk pusat pengendalian, ombaknya tenang'.

"Kalau di Sangir ombak tinggi, angin kencang."

Selain itu, menurutnya, pemerintah akan kewalahan untuk mendeteksi para milisi Maute, jika mereka menuju Indonesia, karena mereka 'lihai berkamuflase' seperti para pengungsi atau TKI. "Tidak ada ciri khusus, tidak dapat dibedakan."

Ali menilai yang paling bisa mengetahui para milisi adalah 'orang yang pernah ikut (kelompok teroris terkait)'.

"Saya bisa deteksi dari tas yang dia pakai, mirip tas traveler, jelasnya tidak mungkin saya sebutkan di sini," pungkas Ali.


Pelibatan mantan milisi
Ali Fauzi menyarankan agar TNI dan Kementerian Pertahanan mengajak mantan anggota milisi di Filipina ikut serta dalam patroli agar lebih cepat mendeteksi jika ada yang berupaya menyelundup ke Indonesia.

Namun ketika ide itu ditawarkan kepada TNI, Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto menyatakan bahwa 'semua metode untuk pengawasan dengan melibatkan unsur terkait termasuk komponen masyarakat kita gunakan."

Baca juga: Tanpa Revisi UU, TNI Bisa Dilibatkan Dalam Pemberantasan Terorisme

Walau bagaimanapun, langkah pemerintah membuat pusat komando dan kerja sama tiga negara ini disambut baik oleh anggota DPR.

Bagaimanapun anggota Komisi 1 DPR dari PDI-Perjuangan, Charles Honoris, mengharapkan patroli ini 'tidak hanya panas di awal'.

"(Harus) serius karena sudah jadi kekhawatiran, melihat bagaimana kelompok (Maute) ini bisa menguasai kota di Filipina selatan."

Charles menilai yang paling diharapkan dari kerja sama ini adalah pertukaran informasi intelijen terkait tokoh, perpindahan dan aktivitas terorisme.

"Karena kalau terkait kerjasama militer, masing-masing negara (sudah) punya kapabilitas untuk menyelesaikan kelompok teroris di negara masing-masing. Apalagi kita tahu banyak alumni ISIS yang sudah ada di tanah air."

Sumber : BBC